1. Pendahuluan: Euforia AI dalam Dunia Coding
Dunia pengembangan perangkat lunak tengah diramaikan oleh kehadiran Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan. Alat bantu pengkodean berbasis AI, seperti GitHub Copilot
dan ChatGPT
, merangsek masuk ke dalam alur kerja para pengembang, seolah menawarkan diri sebagai “rekan kerja” digital yang tak kenal lelah.¹ Antusiasme ini bukan tanpa alasan. AI menjanjikan revolusi produktivitas, sebuah lompatan kuantum dalam cara kita menulis, menguji, dan mengelola kode.
Daya tarik utama AI coding assistants terletak pada janji manis efisiensi. Alat-alat ini digadang-gadang mampu meningkatkan kecepatan penulisan kode secara signifikan, bahkan hingga 55% menurut beberapa laporan.⁵ Tugas-tugas repetitif dan membosankan, seperti menulis kode boilerplate atau melengkapi sintaks, dapat diotomatisasi ³, membebaskan waktu pengembang untuk fokus pada pemecahan masalah yang lebih kompleks dan bernilai tinggi. Lebih jauh lagi, beberapa klaim bahkan menyebutkan potensi peningkatan kualitas dan keandalan kode melalui deteksi bug dini dan saran perbaikan.²
Namun, di tengah euforia ini, muncul pertanyaan kritis: apakah kecepatan dan kemudahan ini datang tanpa biaya tersembunyi? Apakah kode yang dihasilkan secara otomatis oleh mesin memiliki kualitas yang sama dengan kode yang dirancang dengan saksama oleh manusia? Artikel ini bertujuan mengupas sisi lain dari medali AI coding: potensi masalah serius terkait keterbacaan (readability) dan kemudahan pemeliharaan (maintainability) kode yang dihasilkannya. Lebih penting lagi, artikel ini akan mengaitkan potensi masalah tersebut dengan konsep “utang teknis” (technical debt)—sebuah beban tak terlihat yang dapat membengkak secara eksponensial jika kode AI diterima begitu saja tanpa tinjauan kritis dan pemahaman mendalam.⁷
Antusiasme awal terhadap AI seringkali didorong oleh metrik produktivitas jangka pendek, seperti kecepatan menghasilkan baris kode pertama. Pengembang dan manajemen dapat dengan mudah terpikat oleh janji percepatan ini.¹⁰ Akan tetapi, berbagai riset dan laporan industri mulai mengungkap adanya biaya tersembunyi.⁷ Peningkatan volume kode yang dihasilkan AI ternyata seringkali diikuti oleh peningkatan waktu yang dibutuhkan untuk review, debugging, dan refactoring. Ini menunjukkan adanya pertukaran (trade-off) yang tidak langsung terlihat: kecepatan di fase awal pengembangan mungkin harus dibayar mahal dengan perlambatan dan biaya tambahan pada fase pemeliharaan dan evolusi perangkat lunak. Pemahaman akan realitas tersembunyi inilah yang menjadi inti dari pembahasan mengenai bagaimana AI dapat secara tidak sengaja mempercepat akumulasi utang teknis. Tujuan artikel ini adalah untuk memberikan pandangan yang seimbang, menyoroti bagaimana penggunaan AI coding assistants yang kurang bijaksana dapat menghasilkan kode yang sulit dikelola dan pada akhirnya menambah beban utang teknis tim pengembangan.
2. Di Balik Layar: Bagaimana AI Menulis Kode untuk Anda?
Untuk memahami potensi masalah yang ditimbulkan oleh AI coding assistants, penting untuk mengetahui secara garis besar bagaimana alat ini bekerja. Inti dari teknologi ini adalah Large Language Models (LLMs), model AI yang sangat kompleks yang dilatih menggunakan data dalam jumlah masif. GitHub Copilot
, misalnya, secara spesifik dilatih menggunakan miliaran baris kode sumber dari repositori publik di GitHub, sementara ChatGPT
dilatih pada korpus data yang lebih luas, mencakup teks dan kode dari berbagai penjuru internet.⁵ Kedua alat ini, meskipun berbeda dalam implementasinya, sama-sama dibangun di atas teknologi dasar dari OpenAI.¹⁴
Mekanisme kerja LLM pada dasarnya adalah memprediksi kelanjutan teks atau kode berdasarkan pola-pola statistik yang telah dipelajarinya dari data pelatihan.² Ketika seorang pengembang menulis kode atau memberikan instruksi (prompt), AI menganalisis input tersebut dan menghasilkan output (saran kode, fungsi utuh, atau penjelasan) yang dianggap paling mungkin atau relevan secara statistik. Ini bukan pemahaman logis seperti manusia, melainkan pengenalan pola tingkat lanjut.
Cara interaksi dengan alat-alat ini juga berbeda. GitHub Copilot
dirancang untuk terintegrasi langsung ke dalam Integrated Development Environment (IDE) seperti Visual Studio Code atau JetBrains IDEs. Ia bekerja di latar belakang, secara real-time memberikan saran kode (seringkali berupa autocompletion satu baris atau bahkan seluruh blok fungsi) berdasarkan konteks kode yang sedang ditulis oleh pengembang, termasuk baris sebelum dan sesudah kursor, serta file lain yang terbuka dalam proyek.⁵ Sebaliknya, ChatGPT
lebih umum diakses melalui antarmuka percakapan (chat) atau API. Pengguna secara aktif memberikan prompt berupa pertanyaan atau perintah dalam bahasa alami, dan ChatGPT
merespons dengan teks, yang bisa berupa penjelasan konsep, bantuan debugging, atau potongan kode.¹² Copilot lebih fokus pada code generation dan completion dalam konteks pengembangan aktif, sementara ChatGPT memiliki cakupan lebih luas.¹²
Konteks menjadi elemen krusial sekaligus sumber kelemahan utama. Copilot berusaha memahami konteks dengan menganalisis kode di sekitar kursor, file lain yang terbuka, URL repositori, bahkan framework dan dependensi proyek.⁵ Namun, pemahaman kontekstual ini seringkali terbatas pada lingkup lokal dan mungkin tidak menangkap gambaran arsitektur besar atau logika bisnis yang kompleks.¹⁷ ChatGPT
, di sisi lain, sangat bergantung pada kualitas prompt yang diberikan dan konteks percakapan sebelumnya, namun tidak secara inheren mempertahankan kesadaran kontekstual yang detail antar interaksi kecuali dirancang khusus untuk itu.¹² Keterbatasan dalam pemahaman konteks inilah yang menjadi salah satu akar permasalahan mengapa kode yang dihasilkan AI terkadang terasa “tidak pas” atau bahkan salah dalam konteks proyek yang lebih besar.
Kualitas output AI tidak hanya bergantung pada konteks, tetapi juga sangat dipengaruhi oleh kualitas dan sifat data latihannya.⁵ Karena AI belajar dari data yang ada, jika data tersebut mengandung kode dengan kualitas buruk, praktik yang tidak aman, penggunaan pustaka yang usang, atau bias tertentu, AI berpotensi mereplikasi masalah-masalah tersebut dalam kode yang dihasilkannya.¹⁷ Repositori publik seperti GitHub, meskipun kaya akan contoh, juga merupakan rumah bagi berbagai tingkat kualitas kode, termasuk kode warisan (legacy), kode eksperimental, atau kode yang ditulis tanpa mengikuti praktik terbaik modern. AI tidak memiliki kemampuan inheren untuk menilai mana kode yang “baik” atau “buruk”; ia hanya meniru pola yang dominan atau yang dianggap paling cocok berdasarkan input saat ini. Akibatnya, pengembang tidak dapat secara membabi buta mempercayai setiap saran kode dari AI. Kewaspadaan konstan diperlukan untuk mengidentifikasi potensi masalah tersembunyi yang mungkin diwarisi dari data pelatihan AI tersebut.
Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai perbedaan antara dua alat AI coding populer, tabel berikut menyajikan perbandingan singkat:
Tabel 1: Perbandingan Singkat AI Coding Assistants (GitHub Copilot vs. ChatGPT)
Fitur | GitHub Copilot | ChatGPT |
---|---|---|
Tujuan Utama | Generasi dan penyelesaian kode untuk pengembang | AI percakapan untuk berbagai tugas, termasuk bantuan pengkodean |
Kasus Penggunaan | Terintegrasi di IDE untuk membantu pengkodean real-time | Menghasilkan teks, menjawab pertanyaan, menjelaskan konsep, debugging, generasi kode via prompt |
Input | Potongan kode, konteks file, komentar deskriptif | Prompt atau pertanyaan berbasis teks |
Output | Saran kode, fungsi utuh, blok kode | Respons berbasis teks (jawaban, penjelasan, kode, dll.) |
Integrasi Utama | IDE (VS Code, JetBrains, dll.), GitHub CLI | Antarmuka web, API, chatbot |
Kekuatan Konteks | Memahami konteks kode lokal (file aktif, proyek) untuk saran real-time ⁵ | Bergantung pada prompt dan riwayat percakapan, pemahaman konteks antar sesi terbatas ¹² |
Memahami perbedaan mendasar ini penting agar pengembang dapat memilih alat yang tepat untuk kebutuhan spesifik dan menyadari batasan masing-masing, sebelum melangkah lebih jauh membahas isu kualitas kode yang lebih dalam.
3. Saat Kode AI Menjadi Sulit Dipahami: Masalah Keterbacaan dan Pemeliharaan
Meskipun AI coding assistants mampu menghasilkan kode yang secara fungsional “berjalan” untuk tugas-tugas tertentu, hal ini tidak secara otomatis berarti kode tersebut adalah kode yang “baik”. Dalam dunia rekayasa perangkat lunak, kode yang baik tidak hanya diukur dari kemampuannya menjalankan fungsi, tetapi juga dari kualitas internalnya. Kode yang berkualitas tinggi haruslah mudah dibaca (readable), mudah dipahami logikanya, dan mudah dipelihara (maintainable) oleh pengembang lain (atau diri sendiri di masa depan).¹⁹ Sayangnya, kode yang dihasilkan oleh AI seringkali gagal memenuhi kriteria-kriteria esensial ini karena berbagai alasan mendasar.
3.1. Kurangnya Pemahaman Kontekstual dan Arsitektural
Salah satu kelemahan paling signifikan dari AI coding assistants adalah keterbatasan mereka dalam memahami konteks yang lebih luas dari sekadar beberapa baris kode di sekitarnya. AI seringkali menghasilkan potongan kode tanpa pemahaman mendalam tentang arsitektur keseluruhan sistem, tujuan bisnis jangka panjang yang mendasari fitur tersebut, atau keputusan desain spesifik yang telah dibuat dalam proyek.⁷ AI mungkin menawarkan solusi yang benar secara sintaksis untuk masalah kecil yang terisolasi, tetapi solusi tersebut mungkin tidak terintegrasi dengan baik dengan modul lain, mengabaikan dependensi antar sistem yang krusial ²⁰, atau bahkan bertentangan dengan pola desain yang sudah mapan dalam basis kode.⁷
Dampaknya sangat terasa pada keterbacaan dan pemeliharaan. Kode yang dihasilkan tanpa kesadaran arsitektural menjadi sulit dipahami karena logikanya tampak terputus dari gambaran besar sistem. Pengembang yang mencoba mengintegrasikan atau memodifikasi kode ini harus menghabiskan waktu ekstra untuk “menerjemahkan” maksud AI dan menyesuaikannya agar selaras dengan bagian sistem lainnya. Modifikasi di satu bagian kode AI yang tampaknya sederhana bisa menimbulkan efek samping yang tidak terduga di bagian lain karena dependensi yang tidak terlihat atau tidak dipertimbangkan oleh AI.
3.2. Gaya Kode yang Tidak Konsisten
Konsistensi gaya pengkodean (meliputi penamaan variabel, format indentasi, struktur fungsi, penggunaan komentar, dll.) adalah kunci utama keterbacaan kode.¹⁹ Tim pengembang biasanya menyepakati panduan gaya (style guide) untuk memastikan seluruh basis kode terasa seragam dan mudah diikuti. Namun, AI, yang belajar dari jutaan baris kode dengan gaya yang sangat beragam dari berbagai sumber, seringkali menghasilkan kode dengan gaya yang tidak konsisten.¹⁷ Bahkan dalam satu blok kode yang dihasilkan oleh AI, gaya penulisannya bisa berubah-ubah.
Inkonsistensi ini secara langsung mengurangi keterbacaan. Kode menjadi terasa asing, membingungkan, dan membutuhkan upaya kognitif lebih besar untuk diikuti alur logikanya. Proses code review juga menjadi lebih lambat dan melelahkan karena reviewer harus terus-menerus beradaptasi dengan gaya yang berubah-ubah dan memastikan kesesuaian dengan standar tim.
3.3. Solusi yang Suboptimal atau Terlalu Rumit (Over-engineered)
AI tidak selalu menghasilkan solusi yang paling efisien atau paling sederhana. Terkadang, kode yang dihasilkan secara fungsional benar tetapi suboptimal dari segi kinerja—menggunakan algoritma yang lambat, struktur data yang tidak tepat, atau melakukan operasi yang memakan banyak memori secara tidak perlu.⁷ Di sisi lain, AI juga bisa terjebak dalam over-engineering, menghasilkan solusi yang jauh lebih kompleks daripada yang dibutuhkan untuk masalah yang relatif sederhana.²⁴ Hal ini bisa terjadi karena AI meniru pola-pola rumit yang ditemuinya dalam data pelatihan, tanpa mempertimbangkan apakah kompleksitas tersebut benar-benar diperlukan.²⁵ Selain itu, AI seringkali gagal melakukan abstraksi yang baik, yang mengarah pada duplikasi kode (code cloning) di berbagai bagian proyek.⁸
Kode yang suboptimal atau terlalu rumit menjadi sulit dipahami karena logikanya yang berbelit-belit atau tidak efisien.²⁶ Performa aplikasi dapat menurun secara signifikan ²³, yang pada akhirnya mengganggu pengalaman pengguna. Kode semacam ini hampir pasti memerlukan upaya refactoring yang ekstensif di kemudian hari untuk menyederhanakan, mengoptimalkan, atau menghilangkan duplikasi.⁷ Duplikasi kode secara khusus sangat berbahaya karena meningkatkan risiko munculnya bug baru ketika perubahan perlu dilakukan; perbaikan di satu tempat mungkin terlewat di tempat lain yang memiliki kode duplikat.⁸
3.4. Efek “Kotak Hitam” (Black Box)
Proses internal yang terjadi di dalam LLM saat menghasilkan kode seringkali bersifat buram atau “kotak hitam” (black box).⁷ Pengembang hanya melihat input (prompt atau konteks kode) dan output (kode yang dihasilkan), tanpa akses ke proses “pemikiran” atau penalaran di baliknya. Sulit, bahkan seringkali tidak mungkin, untuk mengetahui mengapa AI memilih algoritma tertentu, struktur data tertentu, atau gaya penulisan tertentu.¹⁷
Efek kotak hitam ini memiliki implikasi serius pada pemeliharaan. Debugging kode yang dihasilkan AI bisa menjadi mimpi buruk karena pengembang tidak memiliki pemahaman mendalam tentang logika asli di balik kode yang bermasalah.²⁴ Mereka mungkin hanya bisa menebak-nebak penyebab bug. Selain itu, pengembang mungkin merasa ragu atau takut untuk memodifikasi kode AI secara signifikan karena khawatir akan merusak fungsionalitas tersembunyi yang tidak mereka pahami sepenuhnya.⁷ Hal ini juga dapat menghambat proses pembelajaran pengembang, terutama yang lebih junior, karena mereka tidak terlibat secara aktif dalam proses pemecahan masalah dan perancangan solusi dari awal.¹⁷
3.5. Mengabaikan Kasus Tepi (Edge Cases) dan Penanganan Error yang Lemah
AI cenderung dilatih pada skenario-skenario umum dan seringkali menghasilkan kode yang bekerja dengan baik untuk jalur utama (happy path). Namun, AI seringkali mengabaikan atau kurang cakap dalam menangani kasus-kasus tepi (edge cases)—kondisi input yang tidak biasa, nilai batas, atau situasi tak terduga lainnya yang mungkin terjadi di dunia nyata.²⁴ Selain itu, penanganan kesalahan (error handling) dalam kode yang dihasilkan AI seringkali minimalis, tidak informatif, atau bahkan tidak ada sama sekali.²⁴
Akibatnya, kode yang dihasilkan AI cenderung rapuh (brittle) dan rentan terhadap crash atau perilaku tak terduga ketika dihadapkan pada input atau kondisi lingkungan yang sedikit berbeda dari skenario ideal.²⁴ Hal ini meningkatkan risiko munculnya bug yang sulit dideteksi selama fase pengujian awal dan dapat menyebabkan masalah serius ketika aplikasi sudah digunakan oleh pengguna akhir.
3.6. Potensi Bug dan Kerentanan Keamanan Tersembunyi
Selain masalah struktural dan logika, kode yang dihasilkan AI juga berpotensi mengandung bug fungsional yang halus ⁷ atau, yang lebih berbahaya, kerentanan keamanan.⁷ Kerentanan ini bisa jadi diwarisi dari pola kode tidak aman yang ada dalam data pelatihan AI, atau karena AI pada dasarnya tidak “memahami” konsep dan praktik secure coding secara mendalam.¹⁷ AI mungkin menyarankan penggunaan pustaka pihak ketiga yang sudah usang dan memiliki kerentanan yang diketahui ¹⁷, atau menghasilkan kode yang rentan terhadap serangan umum seperti SQL injection atau cross-site scripting (XSS).²¹
Keberadaan bug dan kerentanan tersembunyi ini secara signifikan meningkatkan risiko insiden keamanan, seperti kebocoran data sensitif pengguna atau perusahaan ¹⁷, gangguan layanan, atau bahkan kerugian finansial. Mendeteksi dan memperbaiki masalah ini seringkali memerlukan audit keamanan tambahan yang mendalam oleh ahli manusia ²⁰, menambah beban kerja tim pengembangan.
Secara kolektif, semua masalah yang diuraikan di atas—kurangnya konteks, inkonsistensi gaya, solusi suboptimal, efek kotak hitam, pengabaian kasus tepi, serta potensi bug dan kerentanan—berkontribusi pada terciptanya kode yang sulit dibaca ¹⁹, sulit dimodifikasi ²³, sulit di-debug ²⁰, dan pada akhirnya, sangat sulit dan mahal untuk dipelihara (maintain) dalam jangka panjang.⁷
Dampak dari ketergantungan berlebihan pada kode AI yang sulit dipahami ini melampaui sekadar kesulitan teknis dalam pemeliharaan. Ada potensi erosi keahlian yang lebih dalam, terutama bagi pengembang junior. Ketika mereka terbiasa menerima kode “jadi” dari AI tanpa sepenuhnya memahami proses pemecahan masalah, logika di baliknya, atau trade-off desain yang terlibat, kesempatan mereka untuk belajar dan mengasah keterampilan problem-solving kritis menjadi berkurang.¹⁷ Mereka mungkin menjadi terlalu bergantung pada alat bantu dan kehilangan kemampuan untuk membangun solusi dari dasar atau menantang saran AI secara kritis.¹⁰ Selain itu, kolaborasi tim juga dapat terhambat. Diskusi teknis mengenai desain atau perbaikan kode AI menjadi kurang produktif ketika tidak ada “pemilik” manusia yang benar-benar memahami alasan di balik implementasi tersebut.¹⁰ Ini menciptakan hambatan komunikasi dan pemahaman bersama, yang merupakan fondasi penting dari kerja tim pengembangan yang efektif. Dengan demikian, dampak negatif AI tidak hanya pada kualitas kode itu sendiri, tetapi juga pada pengembangan kapabilitas individu dan dinamika kolaboratif tim.
4. Mengenal “Utang Teknis” (Technical Debt): Beban Tak Terlihat di Balik Kode
Untuk memahami sepenuhnya konsekuensi jangka panjang dari kode AI yang sulit dikelola, kita perlu memperkenalkan sebuah konsep kunci dalam rekayasa perangkat lunak: “utang teknis” atau technical debt. Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh Ward Cunningham, salah satu penandatangan Agile Manifesto, pada awal tahun 1990-an.²⁸ Ini adalah sebuah metafora yang sangat kuat dan relevan untuk menggambarkan fenomena umum dalam pengembangan perangkat lunak.
Secara mendasar, technical debt didefinisikan sebagai biaya implisit dari pekerjaan tambahan yang harus dilakukan di masa depan sebagai akibat dari pemilihan solusi yang lebih cepat, lebih mudah, atau lebih murah saat ini, dibandingkan dengan solusi yang lebih baik, lebih robust, tetapi mungkin membutuhkan waktu atau usaha lebih banyak.⁸ Setiap kali tim pengembangan mengambil jalan pintas—baik disengaja maupun tidak—mereka pada dasarnya “meminjam” waktu atau kemudahan dari masa depan. “Utang” ini harus “dibayar” kembali nanti, seringkali dengan “bunga”.
Analogi dengan utang finansial sangat membantu memperjelas konsep ini.²⁸ Sama seperti meminjam uang memungkinkan seseorang mendapatkan sesuatu lebih cepat daripada menunggu hingga memiliki dana penuh, mengambil jalan pintas dalam pengembangan perangkat lunak memungkinkan tim merilis fitur lebih cepat. Namun, sama seperti utang finansial yang harus dibayar kembali beserta bunganya, utang teknis juga harus dilunasi. “Bunga” dalam konteks ini adalah waktu, usaha, dan sumber daya ekstra yang dibutuhkan di kemudian hari untuk memperbaiki kode yang suboptimal, melakukan refactoring, mengatasi bug yang muncul akibat desain yang buruk, atau kesulitan dalam menambahkan fitur baru karena fondasi kode yang rapuh.³² Semakin lama utang teknis dibiarkan tanpa “dicicil” atau “dilunasi” (melalui refactoring dan perbaikan kualitas), semakin besar “bunga” yang harus dibayar.
Utang teknis dapat timbul dari berbagai penyebab, dan tidak selalu merupakan hasil dari praktik pengkodean yang buruk secara sengaja. Beberapa penyebab umum meliputi:
- Tekanan Bisnis atau Waktu: Kebutuhan untuk mengejar tenggat waktu rilis produk, merespons tekanan pasar, atau memenuhi permintaan fitur mendesak seringkali memaksa tim mengambil jalan pintas.²⁹
- Kurangnya Pemahaman atau Pengetahuan: Pengembang mungkin belum sepenuhnya memahami kompleksitas masalah yang dihadapi, teknologi baru yang digunakan, atau praktik terbaik (best practices) yang relevan, sehingga menghasilkan solusi yang kurang optimal secara tidak sengaja.³¹
- Pengambilan Jalan Pintas (Shortcuts): Keputusan sadar atau tidak sadar untuk mengabaikan pengujian yang memadai, menulis dokumentasi yang buruk atau tidak lengkap, melakukan copy-paste kode daripada membuat abstraksi yang dapat digunakan kembali, atau menerapkan solusi sementara (workaround) untuk masalah mendesak.²⁸
- Perubahan Kebutuhan: Kebutuhan bisnis atau pengguna yang berubah seiring waktu dapat membuat desain atau arsitektur awal menjadi usang atau tidak lagi sesuai, menciptakan utang teknis jika sistem tidak diadaptasi dengan baik.²⁹
- Kode Warisan (Legacy Code): Bekerja dengan sistem lama yang mungkin ditulis dengan teknologi usang, dokumentasi minim, atau desain yang kompleks seringkali merupakan sumber utang teknis yang signifikan.²⁸
Jika utang teknis dibiarkan menumpuk tanpa dikelola, dampaknya bisa sangat merusak bagi proyek perangkat lunak dan tim pengembang:
- Perlambatan Pengembangan: Semakin banyak utang teknis, semakin sulit dan lambat untuk menambahkan fitur baru atau memodifikasi fungsionalitas yang ada. Pengembang menghabiskan lebih banyak waktu untuk memahami kode yang rumit, bekerja di sekitar batasan, dan memperbaiki masalah yang timbul.⁸
- Peningkatan Biaya Pemeliharaan: Kode yang berkualitas rendah dan sulit dipahami membutuhkan lebih banyak waktu, usaha, dan sumber daya untuk dipelihara, diperbaiki, dan dioperasikan.⁸
- Peningkatan Jumlah Bug: Basis kode yang kompleks, rapuh, dan kurang teruji cenderung lebih rentan terhadap bug dan kesalahan.⁸
- Kesulitan Inovasi: Tim yang terjebak dalam siklus pemeliharaan dan perbaikan bug akibat utang teknis yang tinggi akan kesulitan untuk melakukan inovasi dan mengembangkan fitur-fitur baru yang kompetitif.⁸
- Menurunnya Moral Tim: Bekerja terus-menerus dengan basis kode yang buruk, menghadapi kesulitan yang sama berulang kali, dan merasa tidak produktif dapat menurunkan moral dan motivasi tim pengembang.¹⁰
- Risiko Kegagalan Sistem: Dalam kasus ekstrem, akumulasi utang teknis yang parah dapat membuat sistem menjadi tidak stabil, tidak dapat diandalkan, atau bahkan mencapai titik “kebangkrutan teknis”, di mana satu-satunya pilihan adalah melakukan penulisan ulang (rewrite) total yang sangat mahal dan berisiko.²⁹
Penting untuk dipahami bahwa utang teknis tidak selalu identik dengan “kode buruk” yang ditulis secara sengaja atau karena kemalasan. Seringkali, utang teknis adalah hasil dari trade-off yang dibuat secara sadar dalam menghadapi batasan proyek nyata, seperti waktu atau anggaran.²⁸ Beberapa ahli bahkan membedakan antara utang teknis yang “bijaksana” (prudent), yang diambil secara strategis dengan rencana untuk membayarnya kembali, dan utang teknis yang “sembrono” (reckless) atau tidak disengaja (inadvertent), yang timbul karena kelalaian atau kurangnya kesadaran.²⁸ Ada juga yang membedakan utang teknis dari sekadar “kekacauan” (mess), di mana utang teknis menyiratkan keputusan sadar (meskipun mungkin suboptimal), sementara kekacauan adalah hasil dari ketidakpedulian.²⁸ Dampak utang teknis bersifat sistemik, mempengaruhi seluruh siklus hidup produk dan kemampuan organisasi untuk bergerak maju, bukan hanya kualitas baris kode individual.⁸ Oleh karena itu, memahami utang teknis bukan hanya soal mengidentifikasi kode jelek, tetapi memahami konteks keputusan (atau ketiadaan keputusan) yang menyebabkannya dan konsekuensi jangka panjangnya. Ini menjadikannya isu strategis yang melampaui ranah teknis murni.
5. AI sebagai Akselerator Utang Teknis: Hubungan yang Perlu Diwaspadai
Setelah memahami apa itu utang teknis dan bagaimana kode AI bisa menjadi sulit dikelola, langkah berikutnya adalah melihat bagaimana kedua konsep ini saling terkait. Kemudahan dan kecepatan yang ditawarkan oleh AI coding assistants, jika tidak diimbangi dengan kehati-hatian dan praktik terbaik, justru dapat berperan sebagai “akselerator” atau “pupuk” yang menyuburkan pertumbuhan utang teknis dalam basis kode.
5.1. Ilusi Produktivitas dan Biaya Tersembunyi
Daya tarik utama AI adalah kemampuannya menghasilkan kode dalam hitungan detik.² Ini menciptakan ilusi percepatan produktivitas yang signifikan di fase awal pengembangan. Namun, kecepatan ini seringkali semu karena hanya memindahkan beban kerja dari fase penulisan awal ke fase-fase berikutnya dalam siklus hidup perangkat lunak, yaitu review, debugging, dan refactoring.⁷ Berbagai studi dan laporan lapangan menunjukkan bahwa pengembang seringkali harus menghabiskan lebih banyak waktu untuk meninjau, memahami, memperbaiki, dan menguji kode yang dihasilkan AI dibandingkan jika mereka menulisnya sendiri dari awal.⁷ Sebuah survei bahkan menemukan bahwa 67% pengembang melaporkan peningkatan waktu untuk debugging kode AI.⁷
Dalam metafora utang teknis, fenomena ini dapat diartikan sebagai pembayaran “bunga” yang dimulai lebih awal dan mungkin lebih besar dari yang diperkirakan. Kecepatan di awal adalah “pinjaman” yang terlihat menguntungkan, tetapi biaya tersembunyi dalam bentuk waktu dan usaha ekstra untuk review, debug, dan refactor adalah “bunga” yang harus dibayar. Jika tim tidak menyadari atau mengalokasikan sumber daya untuk membayar “bunga” ini, utang teknis akan menumpuk dengan cepat di balik layar, meskipun metrik produktivitas awal tampak mengesankan.
5.2. Penurunan Kualitas dan Praktik Terbaik
Seperti dibahas sebelumnya, AI cenderung menghasilkan kode yang suboptimal, tidak konsisten secara gaya, dan seringkali mengabaikan prinsip-prinsip desain perangkat lunak yang baik, seperti Don’t Repeat Yourself (DRY).⁸ Penelitian menunjukkan adanya tren peningkatan duplikasi kode (code cloning) dan penurunan penggunaan kembali kode (code reuse) yang signifikan seiring dengan meningkatnya adopsi AI coding assistants.⁸ Basis kode menjadi lebih “gemuk” (bloated) dengan redundansi dan implementasi yang tidak efisien.⁸
Setiap baris kode duplikat, setiap fungsi yang suboptimal, setiap bagian kode yang tidak konsisten secara gaya, pada dasarnya menambahkan “pokok” utang teknis ke dalam sistem. Semakin banyak kode berkualitas rendah ini dimasukkan ke dalam basis kode (seringkali karena kecepatan AI membuatnya mudah untuk menambahkan kode baru daripada merefaktor yang lama), semakin sulit, mahal, dan berisiko untuk memelihara, memodifikasi, dan mengembangkan sistem tersebut di masa depan.⁸ Kualitas kode secara keseluruhan menurun, mengikis fondasi perangkat lunak yang sehat.
5.3. Peningkatan Code Churn dan Ketidakstabilan
Bukti lain dari dampak AI terhadap utang teknis adalah peningkatan code churn. Code churn mengacu pada tingkat di mana kode ditambahkan ke basis kode, tetapi kemudian segera dimodifikasi atau dihapus dalam waktu singkat. Penelitian menunjukkan bahwa code churn telah meningkat secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir, bertepatan dengan adopsi AI coding tools.¹⁵ Tingginya churn ini mengindikasikan bahwa kode yang dihasilkan AI seringkali tidak sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan, mengandung masalah, atau memerlukan perbaikan signifikan segera setelah diterima oleh pengembang. Ini adalah manifestasi nyata dari pekerjaan ulang (rework) yang konstan, yang merupakan bentuk pembayaran “bunga” utang teknis.
Selain itu, laporan industri seperti DORA (DevOps Research and Assessment) 2024 dari Google menemukan adanya korelasi antara peningkatan penggunaan AI dengan penurunan stabilitas pengiriman (delivery stability) perangkat lunak.¹¹ Ini menunjukkan bahwa meskipun AI dapat mempercepat beberapa aspek, ia juga dapat memperkenalkan ketidakstabilan baru ke dalam sistem, yang merupakan salah satu risiko utama dari akumulasi utang teknis yang tidak terkelola.³²
5.4. Kurangnya Kepemilikan dan Pemahaman
Ketika sebagian besar kode dalam suatu fitur atau modul dihasilkan oleh AI, rasa kepemilikan (ownership) pengembang terhadap kode tersebut dapat berkurang.²¹ Jika terjadi masalah atau bug di kemudian hari, mungkin tidak ada anggota tim yang merasa bertanggung jawab penuh atau memiliki pemahaman mendalam tentang logika asli di balik kode tersebut (efek “kotak hitam” yang dibahas sebelumnya).¹⁰ Sulit untuk memperbaiki sesuatu yang tidak sepenuhnya dipahami.
Kurangnya kepemilikan dan pemahaman ini membuat utang teknis menjadi lebih sulit untuk diidentifikasi, diprioritaskan, dan dikelola. Tim mungkin menjadi enggan untuk menyentuh atau merefaktor bagian kode yang “diwariskan” dari AI karena ketidakpastian dan risiko yang dirasakan. Utang teknis dibiarkan menumpuk karena tidak ada yang merasa cukup percaya diri atau termotivasi untuk menanganinya.
Analogi Renovasi Rumah: Bayangkan menggunakan AI tanpa pengawasan seperti menyewa kontraktor super cepat yang menjanjikan renovasi rumah dalam sekejap. Mereka membangun dinding dengan cepat, memasang lantai dengan gesit, tetapi mungkin mengabaikan pemeriksaan struktur fondasi, menggunakan material berkualitas rendah di tempat yang tidak terlihat, atau memasang pipa ledeng secara asal-asalan demi kecepatan. Hasilnya, rumah tampak selesai dengan cepat (produk cepat rilis). Namun, tak lama kemudian, mulai muncul retakan di dinding (bug), pipa bocor (kerentanan keamanan), dan instalasi listrik bermasalah (masalah kinerja). Biaya perbaikan untuk mengatasi semua masalah mendasar ini (pembayaran utang teknis) akhirnya membengkak, jauh melebihi penghematan waktu di awal.⁷
Lebih jauh lagi, fokus pada kecepatan yang didorong oleh AI dapat secara tidak sengaja menciptakan sistem insentif yang salah dalam tim pengembangan. Jika manajemen mulai mengukur produktivitas hanya berdasarkan metrik kuantitatif seperti jumlah baris kode yang dihasilkan, jumlah commit, atau jumlah fitur yang dikirim per sprint ⁸, maka pengembang mungkin merasa tertekan untuk mencapai target tersebut. Dalam situasi ini, mereka mungkin lebih cenderung menerima saran kode dari AI tanpa melakukan review yang cukup mendalam, mengabaikan kebutuhan refactoring, atau mengambil jalan pintas lainnya untuk menunjukkan “progres” yang cepat.¹⁰ Tindakan ini, meskipun mungkin memenuhi metrik jangka pendek, secara langsung berkontribusi pada penambahan kode berkualitas rendah dan akumulasi utang teknis. Ini menciptakan lingkaran setan: adopsi AI yang bertujuan meningkatkan produktivitas, ketika diukur dengan metrik yang salah, justru mendorong perilaku yang mengorbankan kualitas jangka panjang, yang pada akhirnya akan memperlambat tim dan meningkatkan biaya di masa depan, meniadakan sebagian besar manfaat awal AI. Ini adalah dampak sistemik yang perlu disadari oleh para pemimpin teknis.
Tabel 2: Masalah Kode AI dan Kontribusinya terhadap Utang Teknis
Masalah Spesifik Kode AI | Deskripsi Singkat | Kontribusi terhadap Utang Teknis (Pokok/Bunga) |
---|---|---|
Kurang Konteks/Arsitektur | Kode dihasilkan tanpa pemahaman gambaran besar sistem atau integrasi antar modul.⁷ | Pokok: Solusi yang tidak pas. Bunga: Waktu ekstra untuk integrasi, debugging efek samping, refactoring agar sesuai arsitektur. |
Gaya Tidak Konsisten | Kode tidak mengikuti standar tim atau gaya berubah-ubah.¹⁷ | Bunga: Mengurangi keterbacaan, memperlambat review, meningkatkan upaya pemahaman saat modifikasi. |
Kode Suboptimal/Rumit | Kode tidak efisien (lambat, boros memori) atau terlalu kompleks untuk masalahnya.⁷ | Pokok: Implementasi yang buruk. Bunga: Performa buruk, waktu ekstra untuk refactoring (optimasi/penyederhanaan), kesulitan debugging logika rumit. |
Efek Kotak Hitam | Alasan di balik kode AI tidak transparan.⁷ | Bunga: Kesulitan debugging (tidak tahu logika asli), keengganan memodifikasi, hambatan pembelajaran developer. |
Pengabaian Edge Cases/Error Handling | Fokus pada happy path, penanganan error lemah atau tidak ada.²⁴ | Pokok: Kode tidak lengkap/robust. Bunga: Risiko bug di produksi, waktu ekstra untuk menambahkan penanganan edge case dan error yang terlewat. |
Bug/Kerentanan Tersembunyi | Kode mengandung bug fungsional atau celah keamanan.⁷ | Pokok: Kode cacat/tidak aman. Bunga: Waktu debugging, upaya perbaikan keamanan, potensi biaya akibat insiden keamanan. |
Duplikasi Kode/Kurang Reuse | AI cenderung menduplikasi kode daripada membuat abstraksi.⁸ | Pokok: Redundansi kode. Bunga: Peningkatan upaya pemeliharaan (perubahan harus dilakukan di banyak tempat), risiko inkonsistensi, bloated codebase. |
6. Menggunakan AI dengan Bijak: Strategi Menjinakkan Utang Teknis di Era AI
Menyadari potensi AI untuk mempercepat utang teknis bukan berarti kita harus menolak teknologi ini sama sekali. AI coding assistants tetaplah alat yang sangat kuat yang, jika digunakan dengan benar dan bijaksana, dapat memberikan manfaat signifikan bagi produktivitas dan kualitas pengembangan perangkat lunak.⁸ Kuncinya terletak pada penerapan strategi dan praktik terbaik untuk memanfaatkan kekuatan AI sambil secara aktif memitigasi risiko akumulasi utang teknis.
6.1. Utamakan Pengawasan Manusia (Human Oversight)
Prinsip paling fundamental adalah bahwa AI adalah asisten, bukan pengganti pengembang manusia.⁵ Perlakukan kode yang dihasilkan AI sebagai draf awal, saran, atau titik awal, bukan sebagai solusi final yang siap pakai.⁵ Setiap potongan kode yang dihasilkan AI, sekecil apa pun, harus melalui proses code review yang kritis dan menyeluruh oleh pengembang berpengalaman.⁵ Proses review ini harus fokus pada validasi logika, kesesuaian dengan konteks arsitektur dan bisnis, kepatuhan terhadap standar, potensi bug, dan kerentanan keamanan.³⁷ Pengawasan manusia adalah garda pertahanan terakhir terhadap masuknya kode berkualitas rendah ke dalam basis kode.
6.2. Pengujian yang Komprehensif Tidak Boleh Ditinggalkan
Jangan pernah berasumsi bahwa kode yang dihasilkan AI bebas dari bug atau masalah. Terapkan disiplin pengujian yang sama ketatnya untuk kode AI seperti halnya untuk kode yang ditulis secara manual.⁵ Ini mencakup unit testing untuk memverifikasi fungsionalitas unit terkecil, integration testing untuk memastikan interaksi antar komponen berjalan benar, dan security testing untuk mengidentifikasi kerentanan. Pastikan juga bahwa kasus-kasus tepi (edge cases) dan skenario negatif (yang sering diabaikan oleh AI ²⁴) tercakup dalam strategi pengujian. Pengujian yang komprehensif adalah jaring pengaman vital untuk menangkap masalah sebelum mencapai produksi.
6.3. Tetapkan dan Tegakkan Standar Kode
Konsistensi adalah kunci keterbacaan dan pemeliharaan. Pastikan tim memiliki standar pengkodean (coding standards), panduan gaya (style guides), dan pola desain (design patterns) yang jelas, terdokumentasi, dan disepakati bersama. Sebisa mungkin, konfigurasikan alat AI untuk mengikuti standar ini.³⁷ Jika konfigurasi tidak memungkinkan, pengembang harus secara aktif mengarahkan AI melalui prompt atau melakukan penyesuaian manual setelah kode dihasilkan untuk memastikan kesesuaian. Penggunaan alat bantu seperti linter dan static analysis tools secara konsisten dalam alur kerja juga sangat penting untuk menegakkan standar secara otomatis.
6.4. Kuasai Seni Prompt Engineering
Kualitas output AI sangat bergantung pada kualitas input (prompt) yang diberikan. Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik dan lebih relevan, pengembang perlu belajar bagaimana merumuskan prompt yang efektif. Berikan instruksi yang spesifik, detail, dan kaya akan konteks.³⁷ Jelaskan bahasa pemrograman yang diinginkan, framework atau pustaka yang harus digunakan, batasan-batasan (misalnya, performa, keamanan), dan hasil yang diharapkan secara eksplisit. Untuk tugas yang kompleks, pecah menjadi beberapa prompt yang lebih kecil dan berurutan (iterative prompting), dimulai dari struktur kerangka lalu ke detail komponen.³⁸ Prompt engineering yang baik dapat secara signifikan mengurangi jumlah pekerjaan ulang yang diperlukan.
6.5. Lakukan Refactoring Secara Proaktif
Jangan biarkan kode AI yang suboptimal, rumit, atau duplikatif menumpuk dan menjadi utang teknis permanen. Alokasikan waktu secara sengaja dan rutin dalam setiap siklus pengembangan (misalnya, dalam setiap sprint) untuk melakukan refactoring—memperbaiki struktur internal kode tanpa mengubah perilaku eksternalnya.⁸ Perlakukan refactoring sebagai bagian integral dari proses pengembangan yang sehat, bukan sebagai tugas tambahan yang bisa ditunda tanpa batas.²³ Menariknya, AI juga dapat dimanfaatkan untuk membantu proses refactoring itu sendiri, misalnya dengan mengidentifikasi kode duplikat atau menyarankan penyederhanaan, tetapi tetap harus di bawah pengawasan ketat pengembang.²⁶
6.6. Fokus pada Kualitas dan Keberlanjutan, Bukan Sekadar Kecepatan
Pergeseran paradigma yang didorong oleh AI menuntut peninjauan kembali cara kita mengukur produktivitas dan kesuksesan dalam pengembangan perangkat lunak. Jangan terjebak hanya mengukur kuantitas, seperti jumlah baris kode yang ditulis atau jumlah fitur yang dikirim per periode waktu.⁸ Pertimbangkan dan berikan bobot yang sama pentingnya pada metrik kualitas (misalnya, jumlah bug, cakupan pengujian, skor maintainability), stabilitas sistem, dan kemudahan pemeliharaan jangka panjang. Ciptakan budaya tim yang menghargai kode yang bersih, teruji, terdokumentasi dengan baik, dan berkelanjutan, bukan hanya kode yang “selesai” dengan cepat.
6.7. AI sebagai Asisten Cerdas, Bukan Pengganti Developer
Posisikan AI secara tepat dalam alur kerja tim. Manfaatkan AI untuk tugas-tugas di mana ia unggul, seperti menghasilkan kode boilerplate yang repetitif, memberikan saran sintaks cepat, membantu menulis draf awal dokumentasi atau kasus uji, atau bahkan menawarkan solusi alternatif untuk dipertimbangkan. Namun, keputusan strategis mengenai arsitektur sistem, pemecahan masalah yang kompleks dan bernuansa, pemahaman mendalam tentang domain bisnis, dan tanggung jawab akhir atas kualitas kode harus tetap berada di tangan pengembang manusia.⁵
Mengelola utang teknis, terutama yang dipercepat oleh AI, bukanlah aktivitas satu kali atau pembersihan sesekali. Ini adalah proses berkelanjutan yang harus terintegrasi erat dalam siklus hidup pengembangan perangkat lunak.²³ Memerlukan kesadaran konstan dari seluruh tim, mekanisme untuk mengukur dan memantau kualitas kode serta tingkat utang teknis, proses untuk memprioritaskan area mana yang paling mendesak untuk diperbaiki ³⁵, dan alokasi sumber daya yang terencana untuk melakukan tindakan perbaikan (“pembayaran utang”) secara rutin. Ini menandakan pergeseran dari pendekatan reaktif menjadi manajemen kualitas yang proaktif, sebuah keharusan untuk menavigasi era AI secara berkelanjutan.
7. Kesimpulan: Menavigasi Era AI dengan Kualitas sebagai Kompas
Kehadiran AI coding assistants tak pelak lagi telah membawa angin segar dan potensi transformasi besar dalam dunia pengembangan perangkat lunak. Janji peningkatan produktivitas, percepatan waktu rilis, dan otomatisasi tugas-tugas rutin adalah nyata dan sangat menggoda.² Namun, seperti pedang bermata dua, kemudahan dan kecepatan yang ditawarkan AI ini datang dengan risiko inheren yang tidak boleh diabaikan.
Sebagaimana telah diuraikan, penggunaan AI coding assistants yang kurang bijaksana—tanpa pengawasan kritis, pengujian menyeluruh, dan fokus pada kualitas—dapat secara signifikan mempercepat akumulasi utang teknis.⁷ Kode yang dihasilkan mungkin tampak berfungsi di permukaan, tetapi seringkali tersembunyi masalah mendasar seperti kurangnya pemahaman kontekstual, inkonsistensi gaya, solusi suboptimal atau terlalu rumit, efek kotak hitam yang menyulitkan debugging, pengabaian kasus tepi, hingga potensi bug dan kerentanan keamanan. Semua ini berkontribusi pada terciptanya basis kode yang sulit dibaca, sulit dipelihara, dan pada akhirnya menghambat kelincahan serta inovasi tim dalam jangka panjang.
Oleh karena itu, kunci untuk menavigasi era AI ini dengan sukses terletak pada kemampuan kita untuk menemukan keseimbangan yang tepat.⁹ Keseimbangan antara memanfaatkan kecepatan dan efisiensi yang ditawarkan AI, dengan tetap menjaga integritas, kualitas ¹⁹, dan keberlanjutan jangka panjang dari perangkat lunak yang kita bangun. Kualitas kode tidak boleh dikorbankan demi kecepatan sesaat.
Pesan penutup ditujukan kepada para pengembang perangkat lunak dan pemimpin teknis di Indonesia: gunakanlah AI secara bertanggung jawab. Jadikan AI sebagai alat bantu yang kuat, tetapi jangan biarkan ia mendikte kualitas pekerjaan kita. Adopsi praktik-praktik terbaik yang telah diuraikan—utamakan pengawasan manusia, lakukan pengujian komprehensif, tegakkan standar kode, kuasai prompt engineering, lakukan refactoring proaktif, fokus pada kualitas berkelanjutan, dan posisikan AI sebagai asisten cerdas. Miliki kesadaran konstan akan potensi “biaya tersembunyi” di balik kode yang dihasilkan AI. Pada akhirnya, AI adalah alat; kebijaksanaan, keahlian, dan tanggung jawab manusialah yang akan menentukan apakah alat ini membawa kita menuju kemajuan sejati atau menjebak kita dalam labirin utang teknis yang tak berkesudahan. Kualitas harus tetap menjadi kompas kita dalam mengarungi gelombang inovasi AI.